Pemerintah tengah gencar melaksanakan program vaksinasi Covid-19 demi menekan penyebaran virus Corona di tanah air. Di awal tenaga kesehatan yang menjadi prioritas, kemudian mulai menyasar kelompok lain salah satunya tenaga pendidik atau guru.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, prioritas guru yang mendapatkan vaksinasi Covid-19 adalah guru jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD). Hal ini disampaikannya saat meluncurkan program vaksinasi untuk guru di SMAN 70 Jakarta pada Rabu 24 Februari 2021.

Usai guru PAUD dan SD, lalu menyusul SLB baru diikuti jenjang pendidikan lainnya seperti SMP, SMA dan perguruan tinggi. Menurut Nadiem, hal itu dilakukan karena semakin muda peserta didik atau jenjang sekolah, semakin sulit melakukan pendidikan jarak jauh.

Melalui program vaksinasi bagi guru dan pendidik itu, Nadiem menargetkan pembelajaran tatap muka dapat dimulai pada tahun ajaran 2021/2022, meskipun dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Pengamat pendidikan, Edy Suandi Hamid menyambut baik vaksinasi Covid-19 untuk tenaga pengajar. Namun, perlu diingat hal tersebut bukan menjadi acuan utama dalam melakukan pembelajaran tatap muka di situasi pandemi Covid-19 ini.

"Untuk kegiatan belajar mengajar tatap muka itu, kita harus berasumsi bahwa semester yang akan datang betul-betul situasi sudah membaik atau tren Covid menurun. Jangan setelah divaksin masih seperti tren bulan lalu yang naik," kata Edy

Selain itu, dia juga berpandangan meski guru bagian dari pelayanan publik dan berada di garda depan dalam urusan pendidikan, keselamatan peserta didik tetap harus diutamakan. Salah satunya, mereka yang masih berada di bangku PAUD, TK, dan SD.

Menurutnya, anak didik di tingkat PAUD, TK, dan SD masih sulit dikendalikan terlebih dalam disiplin terhadap protokol kesehatan Covid-19. Artinya bagaimana caranya melindungi anak peserta didik ini tidak terpapar virus atau setidaknya patuh terhadap protokol kesehatan.

"Kalau SMA atau SMP sudah paham soal protokol kesehatan," kata Edy.

Dia menyarankan jika opsi pembelajaran tatap muka dilaksanakan, maka guru atau tenaga pengajar harus menjadi contoh atau teladan dalam mengedepankan protokol kesehatan. Jika perlu harus ada sanksi bagi guru yang tidak patuh terhadap aturan protokol kesehatan.

"Misalnya jika mengajar tidak bermasker atau maskernya tidak benar pakainya," usul Edy.

Karena itu, dia meminta pemerintah dan Kemendikbud tidak buru-buru untuk menerapkan pemberlakukan belajar tatap muka dengan alasan para tenaga pengajar sudah divaksinasi Covid-19. Dan jangan berkecil hati jika akhirnya tetap belajar secara daring masih menjadi pilihan.

"Ini kan budaya baru (belajar secara daring) menyesuaikan situasi. Dan saya kira ini kan by accident. Khawatir pasti tapi kita coba edukasi kan hal ini, bosan pasti. Karena resiko social cost sangat mahal kalau mengorbankan untuk tatap muka. Jadi jangan dipaksakan," kata Edy.

Seandainya pun dimungkinkan melakukan pembelajaran tatap muka, maka sifatnya bertahap. Misalnya di Sumatera Selatan zona hijau Covid-19 maka bisa saja dilakukan dan tak berlaku bagi mereka yang berada di zona merah.

Namun, kondisi ini sangat sulit diterapkan di Indonesia, karena tingkat mobilitas seseorang masih terlalu bebas untuk berpergian. Dia mencontohkan seseorang yang berada atau tinggal di Semarang yang notabenenya zona merah, bisa sekolah di Yogyakarta yang mungkin masuk zona hijau.

"Jadi sebaiknya ini total selesai dulu pandemi, baru berjalan sekolah tatap muka lagi," jelas Edy.